Monday, August 11, 2008

And Justice For All

Semenjak pindah ke Jakarta, sedikit demi sedikit saya merasakan adanya pengaruh aura materi ke dalam diri saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya merasakan dorongan untuk bisa lebih, lebih, dan lebih (terutama secara materiil), saya menyebutnya aura materi. Saya tidak tahu kenapa bisa seperti itu, mungkin karena adanya cultural shock, dari daerah yang notabene tidak ada apa-apa, ke daerah yang serba gemerlap, jadi ya lihat apa2 jadi serba pengen, hehe .. Apalagi ketika berjumpa dengan rekan-rekan kuliah atau sma dulu, yang ketika bertukar nomer hape yang membuat hape tercinta saya langsung terlihat butut dengan gemerlapnya hape mereka, yang entah sudah lengkap dengan fasilitas 3G, 3.5G, PDAphone, kamera resolusi tinggi, touchscreen dan entah fasilitas apalagi yang membuat saya menjadi gagap teknologi .. gaptek. Juga ketika di kantor, saya sempat tergagap2 ketika harus berhadapan dengan pertanyaan2 dunia saya seputar blackberry (atau entah apa namanya itu), laptop terbaru, dll. Yang untung selalu bisa dipecahkan dengan call ke service center .. (thanks mas/mbak service center). Belum lagi beberapa kali dimintain tolong temen nyari komputer, laptop, dan beberapa pernak-pernik (gadget) lain - lain .. Yang cuman bisa bikin geleng-geleng ngeliatnya .. plus bikin ngeces2 ..

Keinginan untuk serba lebih juga didorong ketika tahu bahwa biaya pendidikan sekarang sudah selangit, biaya yang dulu cukup untuk kuliah+makan setahun sekarang cuman cukup untuk masukin anak ke SD. Belum lagi biaya fasilitas kesehatan, harga rumah dll yang semakin tinggi. Mau tidak mau ini membuat kami, saya dan istri, mulai berpikir untuk berinvestasi dan mendapatkan penghasilan lebih demi kelangsungan keluarga. Tuntutan yang sebelumnya tidak begitu terasa ketika saya di daerah, ternyata langsung terbentur ketika di Jakarta. Jakarta yang begitu gemerlap dengan segala fasilitas dan harganya.

Di lain pihak, setiap kali berjalan pulang atau berangkat ke kantor, saya melihat tukang koran, para pengojek yang berebut penumpang, anak kecil dan orang tua yang menjadi peminta-minta. Saya merasakan adanya suatu konflik di batin, yang di satu sisi saya melihat gampangnya uang diperoleh dan dihamburkan, sedangkan di lain sisi saya melihat bagaimana orang benar-benar harus berjuang dan sering bahkan mengorbankan harga diri dan etika demi beberapa lembar rupiah. Di sisi yang lain juga saya sangat bersyukur kepada-Nya atas segala kemurahan-Nya kepada kami sekeluarga. Dalam diskusi-diskusi kecil, sering saya menyuarakan sarkasme dan kegetiran saya kepada pemerintah yang saya anggap sudah buta dan tidak adil. Sering juga berdiskusi mengenai apa yang bisa kita lakukan, sekecil apapun itu.


Rasanya apapun itu saya belum menemukan jawaban dari hal ini. Padahal mah kata salah seorang kawan saya: be part of the solution, not the part of the problem. Halah, tapi kok ya gak gampang. Di satu sisi ada kewajiban untuk survive, terutama survive nya keluarga, di satu sisi ada benturan dilema dan keinginan untuk berbuat sesuatu merubah keadaan yang ada. Tapi yang pasti kita hanya bisa berusaha maju, meski kadang kita sadar bahwa kita salah, but that's life :)