"Oy, print ini donk.. "
"Print aja. Brp lembar sih?"
"Ini nih, satu rim"
"@#$$#@#$%^% .."
Kantor kami baru saja mendapatkan printer baru, printer warna, yang akhirnya datang setelah sekian bulan tidak jelas juntrungannya. Begitu printer ini terpasang, urusan printing yang semula orang puas dengan printer black & white, tiba - tiba sekarang semua harus berwarna. Laporan & grafik yang biasanya hitam putih, sekarang menjadi berwarna. Ya maklum juga sih, namanya mungkin barang baru jadi semua orang ingin menggunakan dan memanfaatkannya. Euforia printer warna, ya mungkin begitulah istilahnya, hehe.
Berbicara mengenai euforia, dalam pengalaman sehari hari kita mungkin sering mengalami hal ini juga. Saya jadi teringat pembicaraan dengan rekan sekerja saya pada suatu malam yang tiada jelas juntrungannya (*istilah kami untuk malam panjang yang dihabiskan ngalor ngidul mengobrolkan berbagai hal yang tidak jelas). Malam itu kami membicarakan mengenai fenomena kantor yang seolah tidak pernah berhenti bernapas, terlebih bulan-bulan belakangan ini yang sabtu minggu pun kantor selalu aktif.
Rekan tinggal satu rumah yang kebetulan semua dari kantor yang sama, akan tetapi meski satu kantor malah jarang kami bisa berkumpul bersama. Beberapa rekan lebih sering melewatkan malamnya di kantor, tak jarang sampai dinihari. Fenomena ini kami anggap menarik, melihat jam kerja yang seolah tidak ada matinya. Timbul pertanyaan di kami, apakah mereka ini memang orang-orang yang tipe workaholic semua, ataukah keadaan yang memaksa demikian?
Bagi saya yang pecinta membaca buku, ditemani empuknya kasur, dan alunan musik dari speaker altec yang tercinta, jawabannya jelas: bagi saya bekerja setiap hari, terus menerus sampai malam, twenty four seven (24 jam 7 hari) jelas tidak masuk akal. Dalam keadaan tertentu mungkin kita memang perlu untuk bekerja ekstra, tapi kalau tiap hari? Jelas ada yang salah. Bagi saya kehidupan ini haruslah seimbang, termasuk antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sosialisasi, relaksasi, dll. Kita bekerja untuk hidup itu jelas, tapi bukan hidup untuk bekerja. Terlebih bekerja adalah salah satu cara pemenuhan diri tapi bukanlah tujuan hidup itu sendiri. Tapi bagaimanapun itu pendapat saya. Pasti banyak orang yang berpendapat lain dan mungkin ada yang menemukan kebahagiaanya saat mereka bekerja 24 7. Entahlah.
Tapi teman percakapan saya ketika itu memiliki analisa yang lebih sederhana:
Mungkin juga ya? Seperti kasus printer warna kita, mungkin namanya bekerja ada euforia juga. Lho saya sendiri kan juga baru nih di sektor ini, hehe, ah euforia. Ya semoga saja euforia ini cepat berlalu. Jadi saya kembali bisa menikmati kripik chitato, buku-buku bacaan, altec saya, dan yang pasti kasur saya yang mulai gepeng ^^"Ah itu kan mungkin karena kita sedang mengalami euforia humanitarian service, kan banyak orang yang baru pertama kali kerja di humanitarian sektor begini. Jadi masih anget-angetnya"
"..?"
No comments:
Post a Comment